Senin, 16 November 2015

Untukmu yang kelak mengampuni

Tak perlu kau tanyakan lagi ketika harap-harap cemas saya ingin mengulang sebuah cerita yang sudah kau tanggalkan dulu. sedang hanya padamu saya kembali  memiliki kekuatan untuk berdamai pada hidup Yang terlanjur begini.

Sebab hanya pada kesunyian bahwa kau yang diam tidak pernah mengampuni. Begitulah caramu. Masih ingat, di pulau itu, satu-satunya kekuatan doa akan di dengar,  kedamaian jiwa serta senyuman tulus terukir pada guratan wajah-wajah manusia bermuka besi yang katanya suci bagai Dewa.

Berdamailah pada hidup yang begini, sebab waktu akan membunuhmu perlahan.

Terjamah. Hanya saja semestinya saya tidak pernah kembali. Menggulung cerita usang yang tak perlu repot kau dengar. Sebab sekonyong-konyong melibatkanmu yang tak pernah mengampuni serupa dengan berjalan di atas bumi ibu kemudian tak pernah dilihat dunia. Kepalang jatuh kemudian dengan diam mulai kembali mengampuni doa yang kau ucapkan. Doa dan wangi dupa yang setiap pagi saya rindukan. Kemudian terdengar saat menjelang sore suara kelintingan lonceng tetangga sebelah merayuku untuk kembali datang secepatnya.

Bergulat dengan keadaan. Begitulah hidup. Kadang saya selalu bermimpi kemudian lupa akan hidup pada hatinya yang dulu saya abaikan. Lalu  Saya sendiri baru menyadari tidak ada hal yang paling menyakitkan ketika harus mengulang kenangan kemudian merobeknya menjadi semacam sampah. Tidak ternilai atau bahkan seharusnya dicampakkan hingga Tujuh purnama sudah berlalu.  Kini doa itu mulai didengar. Terimah kasih Semesta yang sudi mengampuni kaum hawa yang dilahirkan dari janin suci ibu.

Tidak ada komentar: