Semestinya dia tidak sedang duduk disana bersama sisa kepulan asap rokoknya malam itu. Hatinya masih tetap padamu, setengah hancur. Meski lelaki yang sedang satu bangku bersamanya terus mengoceh tanpa ampun bicara teori-teori kehidupan yang katanya mesti sejalan dengan takdir dan hitungan usia. Sedang ia bersama hatinya yang tertinggal tetap diam.
Bandung tidak sedang berdamai kali ini, ia terus mempertanyakan Manusia mana yang tidak pernah membenci hidupnya sendiri? rasanya-rasanya membuat janji pada malam seperti ini di tengah kota tidak cukup membuat pikirannya lebih baik. Ia sekadar butuh diam meski keramaian jalanan pada malam itu mengingatnnya pada potongan-potongan memory bersamanya. Kepulan asap rokoknya terus terbang memenuhi cafe malam itu. Hingar bingar musik malah membuatnya semakin kacau. Tapi ia belum mau beranjak karena Lelaki yang ditunggunya belum datang, lelaki yang sebetulnya tidak terlibat sedikitpun dengan hatinya.
Kini, lelaki yang sedang satu bangku bersamanya mulai mencuci otaknya. Katanya jangan pernah mempermainkan hidup orang lain meski hatimu tetap padanya atau hatinya tetap padamu. Sedang malam itu ia hanya butuh didengar bukan mendengar tentang hidup yang baginya sudah setengah khatam ia mengerti. Sebuah proses yang menyulitkan meski sampai pada akhirnya adalah tetap pada pilihan yang dipilih Tuhan. Ia cukup mengerti masalah moral dan tata krama. Tapi baginya, semuanya kedok yang menjadi syarat menjadi Manusia sempurna. Lagi-lagi meski puntung rokoknya sudah mulai habis, ia masih terus bertanya "Manusia mana yang tidak pernah membenci hidupnya? aku, kamu atau mereka. Siapa? Bukankha menjadi seorang manusia bukan sebuah pilihan? tapi, mengapa manusia harus tetap memilih? Siapa yang mampu menjawab sedang semesta tetap diam.
Kini, ia mulai bicara meski kedua pasang mata mereka tidak begitu senang saling menatap." Manusia mana yang senang mempermainkan hati seseorang, sedang hatinya terbagi dua padanya. Kalau manusia bicara tentang kesetiaan, bagiku itu hanya omong kosong. Pikiran manusia selalu tak sejalan dengan logika, bahkan lebih kepada apa yang dilihatnya. Aku sedang tidak ingin mendengarkan teori kehidupan yang bisanya sekadar didengar tanpa ada visualisasi pembuktian. Bagiku, kehidupan semacam cermin. Ketika kau mampu melihat dirimu di dalam cermin lebih cantik ataupun tampan dari hari kemarin, itu sudah sebuah pembuktian bahwa hidupmu sudah lebih baik dari kemarin. Dan, meski hatiku masih tetap padanya, tapi saat aku bercermin, aku tidak melihat luka melainkan kebahagian yang tertunda. Lantas, sampai kapan aku harus bercermin, sedang aku tidak tahu cara menunggu kebahagian yang tertunda itu seperti apa?
_Bandung 29 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar