Pagi yang terlihat sama seperti sebelumnya. hanya saja ketika melihat "waktu" aku berusaha melupakan apa-apa. satu kata hanya "benang merah" ya, aku masih belum mencium jawaban Tuhan tentang benang merah dalam cerita ini.
oh sungguh hukuman apa yang telah menantiku setelah ini, melihat alur cerita ini bagaikan tali yang tarik ulur ketika aku mengingatnya dan bagaimana sempurnanya dia hadir dalam permainan hati ini.
Betapa tidak, melihat pagi adalah ketika aku mengingat matamu yang menghitam karena lelah. Sungguh aku mengerti itu karena pada pagi Sapaanku adalah hanya pada ubin yang ketika itu masih dingin. sesekali kutapaki cemas dengan kakiku yang tampak gemetar. Oh betapa aku masih ingin bercumbu pada malam karena pagi hanya selalu memaksaku untuk lirih.
Beri aku waktu mungkin sekedar menunggu kabut hilang dari jendela kamar beserta bercak embun yang masih membeku.
Sesekali kupejamkan mata ini seolah aku memiliki hatinya yang entak untuk siapa? Mungkin untuk masa yang enggan memeberinya kesempatan padaku untuk bisa memiliki sekali lagi. Atau pada abu yang tampak muram seperti enggan atau tak rela.
Aku terpaksa menikmati kesakitanku pada pagi yang terus meminta tubuhku untuk direbahkan pada ubin yang kusebut persetan itu. sungguh aku hanya berkata mampu jika aku terus bermain dengan hati ini. tapi tak mampu ingin lupa, oh apa ini yang dinamakan penderitaan, terpaksa kukeluarkan serupa serapah tentang harapan hatiku yang hanya ingin membeku saja bersama ubin-ubin itu tanpa harus mencair lagi.seperti cahaya yang tak mau nampak dalam mendung atau bagai bisa dalam racun yang mematikan. lalu, bagaimana cerita pagi selanjutnya ketika harus kujalani separuh hidup ini dengan terus menginginkan hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar