Senin, 25 November 2013

Menguping perbincangan komunitas Cupper



          


                     Hujan serasa mengutukku begini  pada bulan menuju akhir tahun yang selalu basah.  Saya bangun terlalu siang hari ini, belum ada rencana, meski saya selalu gagal paham tentang kalimat “Hari senin yang selalu sibuk” katanya, itu kalimat wajib manusia yang hidup di seantareo Dunia (Rezzz). Lain bagi saya, senin adalah waktunya leyeh-leyeh (gag tau ini bahasa apaan). Seorang teman mengabari tentang kopi shop kecil di tengah kota. Ia bilang, kopi shop ini belum lama berdiri, sekitar kurang dari satu tahun. Tempatnya cukup nyaman untuk sekadar berlama-lama ngopi sambil Wifi-an, dan yang lebih menarik adalah pengunjung yang datang biasanya komunitas penggila kopi yang biasa melakukan “cupping” bukan para pelajar yang biasanya cari ribut di kopi shop (Ngobrol berisik gag berbobot sambil ketawa macam orang stress :I ) Ah, ini yang saya cari.
            Lantas, saya langsung tancap gas menuju kopi shop itu, dan kebetulan lokasinya tidak begitu jauh dari tempat tinggal saya. Tiba di lokasi, kopi shop ini memang kecil, meja yang disediakan tidak cukup banyak untuk menampung sekitar lebih dari 30 orang. Saya duduk pada meja di samping rak-rak buku yang ditata rapih. Lantas, saya menanyakan kepada seorang barista “Apa buku ini boleh dibaca?” sang barista dengan ramah menjawab “Boleh dong, asal jangan dibawa pulang mbak.” J
            Saya selalu setia dengan latte dan tentu kopi yang wajib dipesan saat berkunjung ke kopi shop, ya sudah pasti, harus, kudu, wajib “LATTE”. Menu kopi nusantara yang disediakan menurut  saya cukup banyak untuk sekelas kopi shop yang baru berdiri. Kopi shop ini bukan abal-abal, mereka (barista) tahu betul tentang sejarah kopi-kopi nusantara, bahkan saat saya yang memang sedikit cerewet kalo ngobrolin kopi bertanya kepada seorang barista “Apa sama alat kopi yang disediakan di sini dengan kopi shop yang punya merk? Barista itu menjawab dengan lugas “Kami gag pake alat mbak, disini diracik tradisional, mulai dari alat penggiling kopi sampai susu pun dimasak langsung.” My GOD saya gag bisa berkata-kata, banyak pertanyaan yang memenuhi ruang otak saya. “Bagaimana bisa kopi seenak ini dimasak secara tradisional??????? Tangan mereka (barista) memang ajaib sepertinya.
            Saya masih penasaran dan penasaran, mau banyak bertanya tapi tidak enak sama si mas barista yang sedang sibuk menggiling kopi dengan alat-alat yang memang benar masih tradisional. Kurang dari satu jam ada pengunjung yang datang, jumlah mereka dua orang. Bapak-bapak nyentrik yang membawa tas laptop di tangannya. Sang barista hanya sekadar tersenyum tanpa membawakan menu. Lalu, ke dua bapak-bapak itu duduk tepat di hadapan meja (dapur) barista meracik kopi. Ada tiga barista yang bertugas, dua orang laki-laki dan satu perempuan, sedang bapak-bapak di depanya itu masih duduk membuka masing-masing laptopnya. Ke tiga barista ikut bergabung membawakan cangkir-cangkir kecil yang berisi kopi-kopi hitam. Saya ingin melirik tapi takut tidak sopan, tapi saya benar-benar penasaran dengan yang akan dilakukan mereka.
 Lantas dengan sedikit tidak peduli mereka akan tersinggung, saya melirik diam-diam, melebarkan kuping untuk sekadar mengetahui obrolan apa yang mereka bicarakan ( Ya Tuhan maafkan saya nguping dengan cara norak begini). Ternyata mereka sedang melakukan “Cupping Test” semacam  sebuah metoda mencoba kopi yang memiliki SOP yang lumayan ketat, saya pernah membaca sebuah tulisan arti  pentingnya “Cupping test” ini untuk para barista. Sebetulnya tujuanya sekadar membandingkan serta mempelajari aroma kopi yang katanya berbeda-beda. Yang biasa melakukan ini adalah para profesional kopi yang disebut “Master Tasters” dan yang lebih menarik ada standar dimana para Cupper ini harus mengendus aroma kopi dalam-dalam kemudian menyeruputnya dan menyebar cairan kopi ini hingga ke belakang lidah.
            Perbincangan mereka dimulai dengan obrolan tentang proyek di suatu daerah yang sedang mengembangkan komoditas kopinya, saya berspekulasi kalo dua bapak-bapak itu seorang dosen, karena obrolan mereka tidak jauh-jauh obrolan mengenai seputar kampus. Dan yang tiga adalah mereka para barista yang memang bekerja atau malah pemilik kopi shop ini. Lagi-lagi ulasan dahsyat tentang kopi jadi hidangan di meja siang menjelang sore itu.
            “Masih ingat kalo kopi itu memiliki angka 81?” seorang barista bertanya pada barista satunya. Saya kebingungan setengah mati tentang angka yang disebutkan barista tersebut. Lantas, saya broswing diam-diam dan menemukan jawabannya (I love youh mbah google), ternyata memiliki pengertian paduan gula enau yang sedikit gosong dan bubuk cocoa, dengan sedikit aroma kulit jeruk sunkist, aroma ketumbar hijau, lada hitam, dan cabai kering, dengan akhiran yang meningatkan kita dengan gurih pahitnya alpukat yang dekat bagian kulitnya. Ah, saya gagal paham meski sudah menemukan jawabannya.
            Tapi, apapun itu ada sedikit ilmu yang bisa saya dapat meski dengan cara yang memang tidak benar ini :D , Oh well, apapun itu , coffee is good. Coffee is great. I love coffee, coffee equals excellence, happiness is coffee.. I love coffee cause coffee doesn't hurt your feelings hehe..