
Wahai engkau yang tersakiti, mengapa hidupmu baik-baik saja ketika aku mulai pilu.
pilu pada hati yang lemah, mencekam bagai guratan jati hitam di lembah Zahir.
mataharimu yang terbit di ufuk barat menyesal pernah kau tinggalkan karena satu hal
sehingga memutuskan kembali pada hati yang lebih muda dan segar bagai tiupan angin yang kubawa.
wahai engkau yang tersakiti, jiwa tuamu berontak pada satu hal yang tak pernah engkau kira.
Egomu memuncak pada fikiran hina yang dapat menerka bahwa hidupmu akan baik-baik saja
Ketika, engkau datang membawa segenggam harapan bahwa cinta akan mengembalikan mataharimu, padamu!!!!
Wahai engkau yang tersakiti..... hatimu bagai kaum hawa yang mengeluh pada Dunia, bahwa engkau yang paling tersakiti
Lalu aku,
Aku hanyalah angin yang mudah kau hempaskan
Karena aku lah sang angin!!!
Yang membawa fana hidup yang sementara ini
Wahai engkau yang tersakiti, jiwamu sakit dan aku lebih sakit karena engkau datang melukaiku.
Melukai semua harapan fanaku soal cinta yang kau agungkan.
Memaksa Mataharimu untuk kembali dan menuai benih-benih cinta yang pernah kau jadikan candu
Yang kau tahu bahwa matahari akan tetap bersinar dan terbenam pada pulau yang kau agungkan itu!!!!
Dan pada satu tempat, dengan melewati pantai beserta awan-awan putih yang menyertainya
Tapi, Kau salah besar wahai orang yang tersakiti.
Mataharimu akan pergi bersama harapannya yang fana dan soal “cinta”.
Dia tidak lagi mengenal cinta saat candumu mulai hilang karena semilir bau angin yang ku bawa dari sebuah “Ketulusan Hati”